Pernahkah Anda tahu kalau pertengkaran dapat membuat hubungan semakin kuat? Pertengkaran yang masih dalam batas wajar, seperti perbedaan sudut pandang, justru bisa membuat hubungan Anda dan pasangan semakin kuat karena saling mengerti dan memaafkan.
Tidak setiap pertengkaran buruk, meski ada beberapa pasangan yang justru berpisah setelah bertengkar. Biasanya, perpisahan setelah pertengkaran terjadi karena tidak saling memaafkan. Belum lagi jika selama bertengkar, Anda atau pasangan tanpa sadar mengeluarkan kata-kata menyakitkan. Jika hal ini terjad, apa yang harus dilakukan untuk berbaikan selepas bertengkar agar hubungan tersebut tidak berakhir? Berikut cara mudah untuk berbaikan dengan pasangan setelah bertengkar seperti yang dikutip dari Pinkvilla. Komunikasi Komunikasi merupakan kunci utama setelah kita bertengkar dengan pasangan. Sebisa mungkin, lakukan diskusi dengan pasangan tentang penyebab pertengkaran sengit di antara Anda dan pasangan. Bagikan sudut pandang Anda kepada pasangan dan dengarkan pendapatnya. Salin bertukar sudut pandang tidak hanya dapat mengakhiri pertengkaran, tetapi juga mencegah perselisihan dan konfrontasi di masa depan. Minta Maaf Hal yang satu ini sangat wajib dilakukan. Jangan biarkan ego menghalangi dirimu untuk meminta maaf kepada orang terkasih. Ucapkan permintaan maaf yang sederhana dan tulus untuk memperbaiki hubungan Anda dengan pasangan setelah pertengkaran. Negosiasi Apabila Anda dan pasangan melakukan negosiasi, jalan tengah untuk pemicu masalahmu bisa ditemukan. Cobalah bernegosiasi dan berkompromi untuk mengakhiri perselisihan yang mungkin terjadi lagi ya. Beri Waktu Berpura-pura tidak terjadi apa-apa setelah pertengkaran terjadi tidak akan membantu menyelesaikan masalah. Beri waktu untuk dirimu sendiri dan pasangan untuk memikirkan segala sesuatunya dan memproses emosi juga perasaanmu. Penulis: Tyas Sukma
0 Comments
Setiap keluarga memiliki dinamikanya masing-masing. Tapi yang terpenting, setiap anak perlu tumbuh pada kondisi keluarga tertentu agar perkembangannya bisa berjalan dengan optimal. Sayangnya, karena faktor khusus, keluarga dapat mengalami disfungsi.
Mengutip FirstCry Parenting, keluarga yang disfungsi adalah keluarga yang secara konstan mengalami konflik, bersikap acuh tak acuh, serta terdapatnya masalah perilaku. Untuk itu Anda perlu waspada, karena kesehatan fisik dan mental serta perkembangan perilaku anak menjadi taruhannya. Berikut ini beberapa tanda keluarga yang mengalami disfungsi. 1. Komunikasi yang Buruk Anggota keluarga tidak tahu cara berkomunikasi secara terbuka dan sering mengalami masalah komunikasi yang serius. Masalah tidak didiskusikan bersama dan sering bertengkar dengan berteriak. Masing-masing anggota keluarga tidak mendengarkan satu sama lain. 2. Rendahnya Empati Empati anggota keluarga sangat rendah atau bahkan tidak ada. Tidak ada kasih sayang penuh, dan masalah selalu seputar koreksi pada perilaku anak meskipun ia tidak berbuat salah. Hal ini menciptakan suasana bahwa anak tidak boleh salah, sehingga anak tumbuh menjadi pribadi yang mudah khawatir dan sangat perfeksionis. 3. Rentan Adiksi Ada anggota keluarga yang memiliki masalah kecanduan, sehingga anak rentan untuk mengalaminya hal yang sama. 4. Masalah Mental Terdapat anggota keluarga yang memiliki gangguan kesehatan mental, sehingga anak juga rentan untuk memilikinya, baik karena faktor lingkungan maupun genetik. 5. Perilaku Mengontrol Orang tua memiliki kontrol berlebihan terhadap hidup anak, sehingga Si Kecil berisiko tinggi mengalami gangguan perilaku, pertumbuhan dan perilaku yang terhambat, rasa percaya diri yang rendah, dan memiliki trust issues. 6. Perfeksionisme Orang tua sering memberikan tekanan yang berlebihan tentang perilaku atau bahkan seluruh aspek kehidupan anak. Hal ini kemudian memicu rasa takut akan kegagalan, sehingga sikap perfeksionis menjadi sulit dihindari pada Si Kecil. 7. Kritik Penuh Orang tua kerap mengkritik kemampuan anak. Orang tua juga sering merendahkan, menggurui, dan kejam, menanamkan rasa tidak berdaya dan kurangnya kepercayaan pada anak, yang menyebabkan rendahnya harga diri pada anak. 8. Kurangnya Kemandirian dan Privasi Orang tua sering ikut campur dalam privasi Si Kecil, dan hal ini sering berujung pada kemandirian yang kurang dan anak tidak mampu membuat keputusannya sendiri. 9. Tidak Adanya Dukungan Emosional Tidak ada ruang bagi dukungan emosional pada setiap anggota keluarga. Tidak ada situasi yang aman bagi anak untuk mengekspresikan emosinya dengan jelas dan positif. 10. Kekerasan dan Siksaan Orang tua dapat sering menyiksa satu sama lain atau anak mereka. Kekerasan yang umum terjadi meliputi kekerasan verbal, fisik, seksual, atau emosional. Jika Anda menemukan beberapa karakteristik di atas pada keluarga Anda, segera cari bantuan profesional ya. Penulis: Tyas Sukma Sebuah penelitian mengungkap, pelukan rupanya mampu membuat perasaan kita lebih baik. Apalagi setelah mengalami konflik. Efeknya bisa manjur bahkan hingga keesokan harinya. Selain pelukan, berpegangan tangan juga dapat meningkatkan suasana hati sesorang.
Tim peneliti di Carnegie Mellon University mempelajari 404 orang. Temuannya, mereka yang berpelukan dengan lawan bertengkarnya akan cenderung terhindar dari perasan negatif pada jam bahkan hari sesudahnya. Dilansir dari Daily Mail, hasil tersebut menambah bukti yang menunjukan bahwa sentuhan manusia yang penuh kasih punya efek yang menenangkan saraf. Michael Murphy dari Carnegie Mellon University menjelaskan, sentuhan interpersonal non-seksual merupakan perilaku seperti memeluk dan berpegangan tangan yang digunakan untuk mengomunikasikan kasih sayang. "Individu yang lebih sering terlibat dalam sentuhan interpersonal menikmati kesehatan fisik, psikologis, dan relasional yang lebih baik," kata Michael Murphy. Stres berat atau stres yang berulang dapat membangun perasaan cemas, paranoia, kesepian, dan depresi. Jika itu terakumulasi maka dapat menempatkan seseorang pada risiko penyakit kejiwaan dan bunuh diri. Murphy mengatakan, sentuhan interpersonal secara khusus dikaitkan dengan peningkatan keamanan, dukungan yang lebih besar, peningkatan keintiman, hubungan yang lebih baik, dan penyelesaian konflik yang lebih mudah. Penelitian ini berfokus pada pelukan, yang merupakan dukungan yang relatif umum dari individu ke berbagai mitra sosial. Sedangkan penelitian-penelitian terdahulu sebagian berfokus pada peran sentuhan dalam hubungan romantis. Pada penelitian terdahulu, para ilmuwan mewawancarai 404 laki-laki dan perempuan dewasa setiap malam selama 14 hari berturut-turut. Pertanyaannya seputar pendapat soal cara penyelesaian konflik dan, bagaimana perasaan mereka setelah pertengkaran usai. Mereka yang berpelukan atau berpegangan tangan ditanya lebih lanjut, seberapa sering mereka biasanya berpelukan. Lalu juga, apakah mereka sering berpelukan setelah bertengkar, dan bagaimana perasaan mereka. Menggabungkan hasil tersebut, peneliti melihat korelasi yang jelas antara pelukan dan suasana hati. Mereka yang berbagi pelukan dengan orang yang mereka ajak bertengkar lebih mungkin untuk merasakan emosi positif setelahnya. "Menerima pelukan pada saat berkonflik dikaitkan dengan peningkatan pengaruh negatif dan positif yang bersamaan. Namun, jika tidak menerima pelukan pada saat berkonflik, dapat meningkatkan pengaruh negatif hari berikutnya dibandingkan dengan hari-hari ketika berkonflik," jelas Murphy. Dari penelitian menurutnya masih bisa dikembangkan dengan menunjukkan hubungan sosial seperti siapa saja yang terlibat dalam pelukan. "Kurangnya kekhususan mengenai dari siapa individu menerima pelukan juga membatasi kemampuan kita untuk mengidentifikasi apakah pelukan dari jenis mitra sosial tertentu lebih efektif daripada pelukan dari orang lain," tulis Murphy dikuti dari Fox Carolina. Tapi satu yang pasti, penelitian terbaru menunjukkan bahwa pelukan non-seksual berguna untuk menunjukkan dukungan kepada seseorang yang mengalami konflik hubungan. Penulis: Tyas Sukma |
Archives
August 2022
Categories |